Blog ini...

sering gonta-ganti templete dan berisi cerita penting nggak penting saat terkena atau tidak terkena badai hormonal

Senin, 31 Agustus 2009

Pengamen itu

Langit biru cerah, udara gerah. Waktu masih berjalan pada ritme yang biasa, tidak terlalu cepat pun tidak terlalu lambat. Tidak ada yang dinantikannya, tidak ada pula yang menantikannya. Seperti kebanyakan orang lainnya, dia mengikuti saja rutinitas hari ini. Orang-orang berangkat ke tempat kerjanya, mengenakan kemeja yang diseterika halus, menenteng tas dan menyisir rambutnya dengan rapi. Sementara dia, tampil apa adanya. Sungguh-sungguh apa adanya, kaos putih yang menjelang kelabu, rambut semrawut dan kantong tempat menyimpan harta kekayaannya. Tempat kerjanya adalah bis-bis kota, terminal, dan kadang stasiun demi stasiun. Dia adalah penyayi jalanan, yang mengharapkan orang masih bersedia merogoh sakunya lalu melemparkan recehan ke kantongnya. Kadang dia merasa hina melakukan hal itu. Tersiksa rasanya menerima pandangan sebelah mata orang-orang itu. Tapi pilihan hidup sepertinya sudah habis, dia tak lagi punya ide lain selain menjadi pengamen.


Dia manusia urban yang terbawa nasib sampai ke ibukota. Waktu itu desanya kekeringan, sawah tidak menghasilkan apa-apa, air seperti menguap begitu saja dari tanah kelahirannya. Orang tuanya meninggal terkena wabah menular. Sampai beberapa saat dia bertahan di sana. Tapi apa yang diharapkan dari sawah yang tak lagi mau ditanami ? Maka diapun mengikuti ajakan temannya untuk merantau ke ibukota. Janji-janji manis memenuhi benaknya. Makanan enak, pakaian bagus, wanita....

Siapa yang dapat menduga, bahwa orang seperti dia yang bahkan lulus SD pun tidak, dapat mudah mencari kerja di ibukota. Dia tak tahu, bahwa ijazah sekolah sedemikian berharga di ibukota, untuk menjadi karyawan toko pun dibutuhkan lulusan SMP. Ah....mengapa dia tak pernah terpikirkan akan hal itu...

Waktu berjalan cepat, angan-angannya terhempas keras. Temannya pun punya ide untuk menjadi pengamen. Awalnya dia tertawa, menyanyi pun dia tidak bisa. Tapi temannya berkilah, siapa yang peduli pada suara atau lirik lagu pengamen....? Maka mereka pun sepakat untuk memulai pekerjaan itu. Hari demi hari, sekedar untuk mengganjal perut dan membayar sewa tempat tidur di salah satu kolong jembatan.

Hari ini wajah orang tuanya kembali terbayang. Rasanya malu untuk mengatakan bahwa anaknya ini hanya menjadi pengamen jalanan di kota besar. Tapi apa yang diharapkan dari sawah di kampung ? Apakah sebaiknya dia pulang saja, lantas memulai sesuatu yang lain. Toh di sana dia masih punya rumah, meskipun mungkin sudah mau roboh.

Hari ini masih seperti biasanya. Dia meloncat dari satu bis kota ke bis kota yang lain. Umurnya semakin menua, tapi dia masih begini-begini saja. Bahkan nyaris tanpa keinginan apa-apa. Mengapa hidup sedemikian datar ? Mungkin di kampung dia akan menemukan kehidupan yang lebih berwarna. Seperti kebanyakan manusia, dia telah lama merindukan sebuah keluarga. Mungkin di kampung dia akan menemukan pendamping hidupnya.

Udara gerah. Paru-parunya mulai parah. Di bawah jembatan layang dia terbatuk, awalnya pelan. Lama-lama semakin memburuk. Tak kuasa menyangga badan, akhirnya pun dia ambruk. Darah kental mengalir dari mulutnya, jatuh menodai baju putihnya yang menjadi kelabu.

Hari ini ketika dia memimpikan hidup yang lebih berwarna, takdir berkata lain. Mungkin kehidupan selanjutnya akan memberinya kebahagiaan yang sempat hilang. Dia tersenyum, melayang, dan terbang menuju sana. Harapan baru membuncah di dadanya.

Orang-orang yang kebetulan lewat terheran-heran. Melihatnya sekilas. Lalu buru-buru meninggalkan mayat itu, tanpa ingin tahu lebih jauh.

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Pengamen itu"

Posting Komentar

Ingin berbagi opini, atau saran, atau kritik, atau nasehat....silakan sampaikan di sini. Terima kasih atas apresiasinya. Salam hangat selalu dari Lina. Oya, untuk lebih memudahkan berkomentar, gunakan Opera ya.