Blog ini...

sering gonta-ganti templete dan berisi cerita penting nggak penting saat terkena atau tidak terkena badai hormonal

Selasa, 20 Oktober 2009

Dunia dalam KRL

Hujan lagi. Daun-daun basah, tak bergerak digoyang angin. Jalan-jalan berlubang didiami air yang terjebak. Orang-orang tetap bergerak, cepat-cepat mencari naungan. Stasiun itu jadi lebih riuh, dipenuhi oleh penumpang dan mereka yang menumpang sesaat untuk berlindung dari hujan.

Namanya Mega. Dia bergegas menuju loket, menanyakan kereta ekonomi AC yang biasa berangkat pukul 19.55. Petugas mengabarkan, kereta masih di Stasiun Jakarta Kota, entah jam berapa sampai di sini, sebab ada kerusakan mendadak. Dia melihat arlojinya, terlalu malam untuk menanti kedatangan kereta yang tak pasti. Lebih baik menggunakan kereta ekonomi saja, meski harus berdesak-desakkan dan menahan napas karena asap rokok bisa bebas mengaur kemana saja.

Hujan reda sejenak. Mega melangkah ke jalur tujuh, memasuki gerbong yang nyaris sesak. Tidak ada tempat duduk yang tersisa. Dia memindahkan ranselnya ke depan. Copet bisa ada dimana-mana. Di depannya ada seorang wanita dan balita. Wanita itu tersenyum padanya, menawarkan sedikit ruang untuk duduk. Tapi dia memilih berdiri, agar bisa menatap lukisan bergerak di balik jendela kereta.



19.50.Kereta berangkat menuju Jakarta. Penumpang saling diam enggan berbagi cerita. Sementara itu pedagang asongan sibuk menawarkan dagangannya. Mangga, lem korea, tahu sumedang, air mineral, pengharum ruangan, hiasan rambut, koran sore.....
Suara mereka bersautan silih berganti dengan derap kereta yang gaduh. Pengamen buta menyanyikan lagu melayu yang berlirik sedih. Di gerbong sebelah sayup suara penyair terbawa angin. Kata-katanya berjatuhan tak sempat ditangkap hati. Peminta-minta hilir mudik mengharap rejeki.

Ada banyak sekali realitas yang tak ingin disaksikan Mega. Itulah sebabnya dia enggan naik KRL ekonomi. Terlalu banyak hal menyakitkan yang ingin diabaikannya. Dia enggan bertatap muka dengan kakek-kakek yang seharusnya sudah meregangkan punggungnya di rumah, bukannya merambat dengan kaki rapuhnya mengharap sedekah. Dia malas menahan emosi setiap kali melihat mata orang yang jelalatan mencari dompet di saku celana para penumpang. Dia muak melihat tampang-tampang cuek perokok yang menerbangkan asap beracun seolah gerbong ini miliknya sendiri.

Kereta berhenti di stasiun Bojong Gede. Mega mendengar teriakan dari luar. Suara sarat amarah gerombolan pelajar. Para penumpang tergopoh memasuki gerbong. Sebagian besar bermuka panik. Seorang ibu bahkan terlihat meneteskan air mata, dengan suara bergetar mengabarkan ada tawuran pelajar di luar sana. Pelajar macam apa yang malam-malam begini berkeliaran sambil mengacungkan senjata menebar permusuhan. Bukannya diam di rumah untuk belajar dan mengerjakan PR ? Provokator jahat mana yang melepas setan kemana-mana, merasuki anak-anak muda yang seharusnya beradab dan beretika.

Ibu itu bercerita tanpa diminta. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, berdirinya goyah. Dia teringat anak remajanya yang sedang sakit di rumah. Dia mempertanyakan masa depan bangsa jika para pelajarnya saja mudah berbuat anarkis. Dia menyedihkan generasi penerus yang beringas dan ganas. Karena tergoncang, ibu itu tidak kuat berdiri, lalu meminta sedikit tempat pada pemuda yang pura-pura tidur di kursinya. Tapi pemuda itu menolak dengan dinginnya, mengatakan bahwa kakinya juga pegal-pegal. Dasar banci!!! Mega mengumpat dalam hati setelah melemparkan pandangan menusuk pada pemuda lemah itu. Mega hanya bisa menawarkan lengannya kepada ibu itu, untuk bergayut agar tidak terjatuh. Jika ibu itu setinggi dia, mungkin tak akan kesulitan berpegangan di tempat peyimpanan barang yang berada di atas kursi penumpang.

Tawuran pelajar sudah tertinggal di stasiun belakang. Ibu yang panik tadi sudah mereda tangisnya. Di stasiun berikutnya dia turun. Mega masih berdiri di tempatnya. Kakinya sudah kaku menahan berat tubuhnya sendiri. Seorang wanita tiba-tiba menyenggol bahunya, lalu tersenyum meminta maaf tanda tidak sengaja. Wanita itu berdiri tepat di samping Mega. Lewat ekor matanya Mega sudah berani memastikan, bahwa wanita itu pastilah cantik dan berkelas. Sedikit anomali melihat wanita berblazer mewah dengan dandanan mahal berada di kereta ini. Tapi ya sudahlah, siapa saja toh berhak menumpang di sini.

Mega baru saja mengamati jalanan yang dirayapi beragam kendaraan di balik jendela sana, ketika tidak sengaja kupingnya menangkap suara kris dayanti dari ponsel wanita di sebelahnya. Hujan sudah mereda. Jalanan masih basah dan becek.

" Ada apa Nur...." Sapa wanita itu.
Sungguh, Mega tak ingin mendengar lanjutan pembicaraan itu dan berharap semoga itu bukan obrolan telepon yang panjang.

"Handphonenya low bat kali, Nur. Tadi saya hubungi juga tidak bisa. "
Tapi suara wanita itu teramat keras, begitu dekat di kupingnya. Mega menahan napas, meluruskan pandangan jauh ke entah. Berusaha menemuka tema apa saja untuk dilamunkan, agar dia bisa mengabaikan suara wanita di sampingnya itu.

"Tadi sih dia pergi sama saya, tapi kita pisahan di Depok. Sekarang saya lagi di Pasar Minggu, jenguk ayah saya yang sakit. Mungkin dia langsung ke temannya. Saya juga tidak tahu, Nur. Coba kamu hubungi lagi..."
Suara itu seperti air bah berkekuatan besar, menerobos gendang telinga Mega.

"Nur, Dio tuh orangnya baik loh. Dia tuh sayang sama kamu, sayang sama anak-anak. Dia setia juga loh. Kamu harus percaya sama dia, dia kan suami kamu. Harusnya kamu lebih percata dia daripada percaya sama omongan orang."
Entah kemana arah pembicaraan itu. Awalnya Mega tak mau peduli, lama kelamaan toh dia penasaran juga.

"Astaghfirullah Nur, istighfar...masak saya mau rebut suami kamu. Saya kan masih punya iman Nur."
Tidak hanya Mega yang spontan menoleh ke arah wanita itu, penumpang lainnya juga melakukan hal yang sama. Suara itu terlalu keras untuk diabaikan, dengan tema pembicaraan yang sensasional seperti itu.

"Nur, saya dan suami kamu itu tidak ada apa-apa. Kamu harus percaya itu."

Rasanya Mega sudah tidak betah lagi, meskipun dia penasaran. Dia bergeser menjauh dari wanita itu. Kebetulan kereta sudah tidak lagi penuh sesak. Di stasiun berikutnya dia akan turun.

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

1 komentar: on "Dunia dalam KRL"

-Gek- mengatakan...

Mega itu siapa Mbak?
Perempuan atau laki2, perlu dijelaskan dulu deh..
(soalnya ayah saya namanya Mega)

dan soal percakapan dengan telefon itu dipoles lagi..

Masih sedikit ambigu, kalo dipoles lagi pasti layak terbit di koran atau majalah gitu...

(halah.... saya ngomong aja... iseng2,,hahaha.. jagonya si Mba Fanny. Saya juga baru belajar..)

Ayo kita belajar sama2.. :)
Maaf kalo ada yg salah ya Mbak.

Posting Komentar

Ingin berbagi opini, atau saran, atau kritik, atau nasehat....silakan sampaikan di sini. Terima kasih atas apresiasinya. Salam hangat selalu dari Lina. Oya, untuk lebih memudahkan berkomentar, gunakan Opera ya.